Ust. Harry Santosa says:
"Bukan Aib!", kata Abu Bakar RA, "...bukan
aib bila seseorang tidak mengetahui sesuatu yang tidak relevan dengan
dirinya".
Jika anak kita hanya suka pelajaran matematika, namun tidak
suka pelajaran bahasa, atau sebaliknya, apakah masalah buat kita?
Jika anak kita tidak suka semua pelajaran, sukanya hanya
"menggambar", "mengkhayal", "merenung",
"mengobrol", "memasak", "beres beres
rumah", "mengumpulkan teman teman" dll , apakah masalah buat
kita?
Bagi negara anak anak kita seperti di atas akan dianggap
bermasalah besar, bahkan dianggap produk gagal, tidak punya masa depan.
Bagi sekolah yang memberhalakan nilai akademis, hal seperti
di atas akan dinilai "sangat bermasalah", anak anak kita terancam
dikeluarkan, dicap merusak prestasi, tidak layak disekolahkan dstnya.
Bagi orangtua yang obsesif, hal ini dianggap mimpi buruk,
masa depan suram, mungkin dianggap musibah bagi keturunan dstnya.
Gejala bahwa seorang anak harus hebat semuanya, harus tahu
semuanya melanda dunia sampai hari ini. Kompetisi adalah harga mati.
Sebuah penelitian, memberi pertanyaan, "Bila anak kita
pulang, membawa rapor dengan nilai 7,9,5 dan 3, maka yang mana menjadi fokus
kita?"
Penelitian itu membuktikan 78% orangtua di Eropa fokus pada
nilai 5 dan nilai 3. Di Amerika 64% orangtua hanya melihat pada nilai 5 dan
nilai 3.
Di Indonesia belum dilakukan penelitian, namun tampaknya
tidak jauh berbeda, mungkin lebih panik.
Begitulah dunia paska era revolusi industri dan perang
dunia, anak anak kita dianggap tentara yang harus mengusai semua hal secara
seragam. Anak anak kita dianggap komoditas produk yang harus memenuhi standar
layak jual.
Di ujung setiap rantai produksi ada QC (quality control)
yang melakukan "reject" dan "accept" bagi produk, bernama
Ujian Nasional.
Kita lebih suka melihat sisi negatif seseorang daripada sisi
positif seseorang. Kita lebih suka mengecam kelemahan daripada menghargai
kelebihan seseorang.
Cara pandang berbasis kekurangan atau "deficit/weakness
based" ini melanda hampir semua orang, konon mencapai 80% warga dunia. Tak
pelak lagi juga melanda kaum Muslimin.
Padahal dalam pandangan orang beriman, sejatinya segala
sesuatu telah diciptakan Allah sesuai jalan suksesnya masing masing (syaqila).
Orang beriman adalah mereka yang meyakini bahwa setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, telah tertanam potensi fitrahnya masing masing. Orang beriman
sejatinya adalah orang yang paling menghargai potensi kekuatan atau keunikan
anak2nya.
Ketahuilah bahwa berbagai penyimpangan perilaku anak dan
remaja, seperti tawuran, bully, penyimpangan seksual dll adalah karena obsesi
bahwa semua anak harus bisa semuanya, harus menjadi paling unggul melampaui
siapapun, harus paling cerdas mengalahkan semuanya dstnya.
Anak anak kita jarang dihargai potensi keunikannya, dihargai
kelebihannya. Mereka terus dikecam kelemahannya, mereka dipaksa menjadi orang
lain yang dianggap lebih sukses, lebih pandai, lebih cerdas dstnya. Kita
mengaku beriman namun menjadi manusia yang paling ingkar terhadap adanya
potensi keunikan fitrah anak anak kita.
Anak2 dan pemuda2 yang dihargai potensi keunikan fitrah
bakatnya, lalu ditemani untuk mengembangkannya akan tumbuh menjadi pemuda yang
eksis jatidirinya, yang "kutahu yang kumau", yang jauh dari galau dan
perasaan terbuang dan hina. Mereka disibukkan menguatkan potensi unik
produktifnya secara positif.
Mari kita perbaiki keimanan dan cara pandang kita tentang
potensi keunikan anak anak kita, sehingga kita mau dan mampu mensyukuri, menghargai
dan menumbuhkan karunia Allah ini lalu memuliakannya dengan akhlakul karimah.
Berhentilah mengecam, berhentilah obsesif, berhentilah
membanding2kan, berhentilah menambal keterbatasan anak anak kita, fokuslah pada
potensi keunikan dan kekuatannya yang merupakan panggilan hidupnya, misi
spesifik penciptaannya di dunia, peran spesifiknya sebagai khalifah di muka
bumi. Misi yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
No comments:
Post a Comment