Wednesday, August 31, 2011

angka kembar


Ya, seiring diresmikannya KTP yang baru, kini angka kembar telah bernaung di atas kepalaku. Entah senang atau sedih yang jelas aku sangat bersyukur telah diberi kesempatan oleh Allah menjaga amanah usia ini.
Akan ada begitu banyak sejarah terukir di angka kembar ini. Ya, yudisium, wisuda, penempatan, magang, mungkin juga pengangkatan. Ups, padahal ada yang paling deket, UKS tahap 2. Hahaha. . . Entah mengapa aku tak merasa sedih atau galau atau apa lah bahasanya. Toh saya tak cuma sekali ini merasakan kegagalan tes. Lagipula kelulusan juga sudah di depan mata, jadi ya jalani saja. Jauh lebih menyesakkan ketika dulu ikut tes masuk salah satu perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang sangat diinginkan, saya nyatakan bukan kedokteran lho ya, tetapi harus menelan pil pahit dan pada kenyataannya saya diarahkan untuk menempuh jalan lain yang ternyata luar biasa terbaik untuk saya. Pun juga dengan UKS 2 ini, inilah peringatan dan jalan terbaik atas apa yang telah saya lakukan. Pesan moralnya adalah, bersungguh-sungguhlah kamu dalam melakukan apa yang seharusnya kamu lakukan. Ya, usaha dan doa saya memang kurang. Jadi untuk ke depan, ketika melakukan sesuatu harus fokus Erna.
Yang jelas, ketika tunjangan untuk anak PNS resmi diberhentikan ketika sang anak berusia 21, yang artinya pemerintah berharap usia 21 adalah usia sang anak lepas dari orangtua, maaf ayah, anakmu terlambat. Dan mungkin saja sampai akhir tahun pun anakmu ini masih akan bergantung padamu.

Friday, August 26, 2011

pemimpin ideal

Pemimpin Ideal
Pemimpin yang cocok untuk Indonesia saat ini? Pertanyaan itu terus menggelayuti pikiranku sejak selesai kuliah KSPK pekan ini. Ya, aku yang sama sekali tidak tertarik pada dunia politik mau tak mau harus berpikir tentang pemimpin ideal yang sesuai untuk negeriku. Ideal? Saya rasa karena tak ada manusia yang sempurna, di zaman ini tak ada pemimpin ideal. Ya, harapan saya sich paling nggak calon pemimpin yang nantinya akan tampil dan bersaing dalam kancah perpolitikan negeri ini mendekati ideal lah, yang tentunya akan membawa perubahan yang lebih baik untuk negeri ini. Rakyat memang sudah bosan akan janji manis tanpa wujud nyata.
Mengingat perkembangan dunia global yang begitu pesat, saya rasa pemimpin yang mendekati ideal harus paham bagaimana dampak derasnya arus globalisasi. Perubahan yang begitu cepat membutuhkan pemimpin yang fleksibel dan cerdas, tapi tentu saja dia harus teguh memelihara kehormatan bangsa. Saya rasa tipe gabungan tipe Influence dan Steadyness paling cocok. Melalui tipe Influence, pemimpin harapan akan mampu melakukan negosiasi yang menguntungkan. Melalui tipe Steadyness, pemimpin akan mampu mengambil langkah yang hati-hati. Melalui gabungan kedua tipe itu, pemimpin akan mampu mengambil hati rakyat dan pemuka dunia dengan tetap memperhatikan dampak yang akan terjadi pada negeri ini tentunya.
Rakyat yang sudah terdidik akan demokrasi lebih membutuhkan pemimpin yang mampu mengambil hati rakyat tanpa menggunakan kekerasan. Dengan cara seperti itu, rakyat akan merasa dimanusiakan sehingga dalam pengambilan suatu kebijakan, tak akan ada perlawanan. Pemimpin sehebat apapun, tanpa dukungan rakyat, dia bukanlah apa-apa. Oleh karena itu tipe Influence bisa menarik kepercayaan rakyat, sehingga terciptalah hubungan yang baik antara pemerintah dengan rakyat. Jika hal itu sudah terjadi, maka rakyat dan pemerintah bisa bekerja sama demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

sekelumit cerita wisudaku

Hari ini benar-benar menakjubkan. Ketika orang lain masih terbuai dengan mimpinya, ketika orang lain masih bantal guling dan merebahkan tubuh di atas kasur empuknya, kami, 400-an mahasiswa akuntansi sudah berjibaku dengan rumput di Lapangan A. bukan untuk memangkas rumput, bukan pula apel dinihari, apalagi jurit malam. Kami berkumpul di Lapangan A sejak tengah malam hanya demi selembar tiket yang akan dipersembahkan khusus untuk Ayah dan Bunda yang tengah menanti kepastian mengikuti prosesi wisuda anaknya 12 Oktober kelak. Ya, pukul 00.18 handphone bergetar cukup lama, pertanda ada telepon yang masuk. Awalnya sempat tak percaya bahwa ada kabar Lapangan A sudah ramai orang demi antrian jatah 2 pendamping. Namun, mendengar backsound yang begitu ramai, akhirnya kuyakinkan diriku untuk percaya, meski masih takjub. Segera aku menuju kamar mandi dan berganti seragam kuliah. Untuk lebih memastikan, ku sms beberapa teman dan mereka mengatakan hal yang sama. Dan ternyata inbox penuh dengan kabar untuk menuju Lapangan A segera. Ya, kumantapkan langkah dengan berlari. Pun ketika gerbang Kalimongso di depan mata yang masih terkunci dengan manisnya. Akhirnya kuputuskan memanjat pagar mungil berkawat duri di bagian atas tersebut. Untung kawat durinya tak menyeluruh, masih ada beberapa cm di pinggir yang memungkinkan kami, mahasiswi yang notabene harus memakai rok ke kampus, memanjat gerbang tersebut. Penuh perjuangan juga, gerbang Kalmong terlewati dan aku pun segera berlari menuju Lapangan A.

Sunday, August 7, 2011

Masih Tentang Wisuda

Mengapa judulnya masih? Karena sebenarnya saya telah menulis uneg-uneg tentang kompre dan wisuda, tapi karena ada beberapa kata yang tidak pantas untuk dipublish, maka saya memutuskan biar tulisan itu tersimpan indah di laptop saya. Takutnya sih, nanti ada beberapa pihak yang tidak terima kalo saya publish.

Mendengar suara kedua orang nun jauh di lintas provinsi sangat menenangkan hatiku. Ya, setelah beberapa kali menunda menelepon karena merasa belum menemukan waktu yang pas, akhirnya mereka lah yang menghubungiku. Memang ya, kasih sayang dan rasa rindu orang tua jauh melebihi kasih sayang dan rindu anaknya. Meskipun hanya bertanya kabar, apa yang sedang dilakukan, dan masih punya uang kah, suara ayah dan ibu sangat meneduhkan. Ya, aku bersyukur memiliki keluarga yang hebat. Ibu dengan kesabaran, perjuangan dan kasih sayangnya. Ayah dengan perjuangan, kesetiaan dan dedikasinya. Adek dengan kemanjaan dan kelucuannya. Setelah beberapa kali becakap-cakap akhirnya kuberanikan juga berkata tentang polemik wisuda yang terjadi. Bahwa untuk mendapatkan dua pendamping harus rebutan. Ah, tak tega sebenarnya aku mengatakannya. Namun, harus bagaimana lagi. Jauh di lubuk hatiku aku tak bisa memilih. Hal ini ibarat aku harus memilih salah satu diantara mereka. Tentu saja aku tak akan pernah bisa. Dan ternyata kebijakan itu pun bersuara. Ya, ayah dengan bijaknya mengatakan hal itu tak menjadi masalah. Toh ayah bisa menunggu di luar. Miris sekali mendengarnya. Lelaki yang begitu setia menunggu ketika menjemputku pulang dari perantauan rela menunggu lagi di saat aku merayakan kelulusan di dalam gedung. Tidak, aku sungguh tak rela walaupun kutau ayah orang yang begitu supel. Jadi tak masalah jika beliau sendiri. Dengan cepatnya pasti beliau akan mendapat kawan bicara. Tapi tidak, aku tak terima. Aku yang melihat perjuangannya selama 22 tahun kehidupanku harus melihatnya menunggu sang puteri tercintanya di luar. Tidak ayah. Aku akan berjuang mendapatkan dua tiket itu. Doakan anakmu ayah, ibu.

Monday, July 4, 2011

senja di senja bengawan

Malam ini tepat seminggu yang lalu aku merasakan kehidupan golongan menengah ke bawah. Ya, empat belas jam tanpa beranjak dari papan besi pintu kereta yang telah tertutup membuatku belajar banyak hal. Kadang memang timbul rasa iri ketika melihat film atau dorama Jepang. Kapan ya negeri ini memiliki mode transportasi masal yang nyaman yang mementingkan keselamatan dan kepuasan masyarakat. Ya, meski ada bus transjakarta yang murah meriah, atau MRT yang sungguh keren bila benar-benar terealisasi, atau KRL AC ekonomi yang murah juga, tapi kapasitas mereka belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, dan tentu saja baru bisa dinikmati warga kawasan ibukota dan sekitarnya.
Ya, mau bagaimana lagi, dengan hanya mengeluarkan tiga puluh tujuh ribu rupiah, kita sudah akan diantar dengan selamat sampai ibukota. Wajarlah jika fasilitasnya juga seperti harganya. Jangan bayangkan mendapat selimut, kursi empuk yang bisa disetel sesuai kebutuhan, makan malam yang menyenangkan kalau tak mau bayar 250ribu untuk fasilitas eksekutif. Yah, kereta ekonomi memang masih menjadi favorit masyarakat dibandingkan bus ekonomi minimal seharga 70an ribu, atau dengan kereta bisnis yang fasilitasnya tak jauh beda dengan harga hampir empat kali lipat. Tentu saja dengan status mahasiswa, aku pun akan memilih fasilitas kereta ekonomi. Meski berdesak-desakan, mendengar nyanyian pedagang sepanjang malam, hal itu tak mengurangi eksotisme pengguna jasa kereta ekonomi. Justru dengan interaksi seperti itu, aku mendengar banyak hal, banyak cerita dari banyak pengalaman. Seperti cerita bapak yang kebetulan senasib. Aku masih jauh lebih baik, bisa bersandar di pojokan pintu dan duduk di tas yang berisi pakaian. Lumayan empuk lah. Aku tak harus duduk di toilet seperti sebuah keluarga dari Klaten yang bernasib sama seperti kami.
Dari perbincangan dengan orang-orang sekitar, aku mendapat banyak hal. Seperti bapak di sampingku yang dengan polosnya berandai jika presiden kita merasakan apa yang dirasakan rakyat, apa yang akan dia lakukan. Kata-kata yang cukup menusuk pikiranku. Ya, akankah kelak jika aku memenuhi baktiku pada negeri dan mendapat kepercayaan yang tinggi, akankah aku ingat sepenggal kisah semalam itu. Semoga saja aku tidak terlena pesona dunia Ya Allah, aamiin.
Ada juga bapak di sampingnya yang begitu bijaknya menyikapi pertanyaan dan pernyataan tentang kampus kami. Bapak itu dengan bijaknya mengatakan bahwa input dan proses yang baik, tak selamanya menghasilkan output dan outcome yang baik. Pasti adalah scrap producnya.(redaksi disesuaikan denga audit dan cost acc.). cukup melegakan karana begitu ditanya kuliah dimana, reaksi orang memang berbeda-beda. Ada yang memuji, tak jarang melecehkan,. Ah, sudahlah, bagiku mungkin karena meraka tidak tahu bagaimana keadaan kami, jadi mereka mengambil kesimpulan sendiri. Ya, meski aku juga tak memungkiri bahwa aku tak sepenuhnya bersih.
Malam menjelang dan penumpang kereta pun satu-persatu tertidur. Panasnya udara tak menghalangi kenyenyakan sesaat. Ketika kereta berhenti, pintu sedikit dibuka, dan angin surga pun masuk. Begitulah kata mereka. Mereka yang rela membanting tulang ke tanah yang jauh dari kampung halaman demi keluarga tercinta. Perjuangan yang begitu tulus dan ikhlas demi orang-orang terkasih. Betapa aku merasa tak ada apa-apanya dibanding mereka.
Menjelang subuh, kereta merangkak menuju Bekasi. Seorang ibu yang akan turun bercerita pada kami bahwa orang-orang yang beruntung bisa menikmati tempat duduk bukanlah semata karena keberuntungan mereka. Ini karena perjuangan mereka. Kereta yang baru beranjak pukul 5 sore sudah mereka tempati puluk 10 pagi. Aduh, aku merasa pengorbananku tak ada apa-apanya. Yah, aku memang datang pukul 10 pagi, abis itu, pulang lagi lah. Pamitan sama eyang, ngobrol dengan tetangga dan keluarga sementara mereka dengan sabarnya duduk di dalam kereta yang baru akan berangkat tujuh jam lagi. Belum lagi perjalanan 13 jam. Genap 20 jam mereka berada di dalam gerbong. Aduh, aku malu dengan diriku. Betapa aku belum membulatkan tekadku ketika ingin mencapai sesuatu. Tak apalah, nikmatilah sensasinya, pintu kereta senja bengawan 27 juni 2011.
_aliefha 75_4 juli 2011_22:45

Saturday, June 18, 2011

Penempatan

“Jangan pernah takut ditempatkan di daerah karena di daerah kita bisa membentuk karakter diri ”. Begitulah inti pertemuan dengan dosen pembimbing semalam. Ya, beliau telah malang melintang ke daerah di Jawa Barat dan Kalimantan selama masing-masing lima tahun. Sebenarnya dalam hati, aku insyaallah memang siap jika nanti ditempatkan di mana saja. Mendengar kisah sang dosen semalam, hatiku menjadi semakin mantap untuk tak ingin penempatan di ibukota. Ya, penempatan adalah satu topik yang umum di bahas mahasiswa tingkat akhir seperti aku. Ya, nggak kalah sama topic pernikahan lah.
ya, tak terasa memang kami, mahasiswa tingkat 3 STAN hanya tinggal menempuh kuliah kira-kira satu setengah bulan lagi. KTTA sebagai salah satu syarat kelulusan pun sudah memasuki tahap-tahap akhir. Ya, sekarang yang dipikirkan adalah UAS terakhir, kompre, yudisium, wisuda dan tentu saja hati berdebar menunggu pengumuman penempatan.bulan Oktober nanti, peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah hidup kami akan terjadi.
Wisuda. Siapa orang tua yang tak bangga anaknya telah diwisuda. Kami pun berharap orang tua kami akan tersenyum melihat kami memakai toga dan mendampingi kami dalam rangkaian acara menyambut kelulusan. Yah, kami menyebutnya dengan “sekolah’ memang telah selesai dijalani. Namun, ini bukan berarti akhir pembelajaran. Justru setelah kalian diwisuda, memasuki kehidupan bermasyarakatlah ujian kalian yang sebenarnya. Kata-kata itu yang sampai sekarang terngiang di kepalaku. Memang benar adanya. Mendengar pengalaman senior yang telah bekerja, cerita orang tua dan tetangga, kehidupan kita benar-benar diuji justru bukan saat kita berada di bangku formal pendidikan, melainkan saat kita berhadapan dengan masyarakat. Di sinilah ketrampilan hidup tentang bagaimana kita berbaur, apa tujuan hidup kita, bagaimana kita beradaptasi benar-benar diuji. Memang bukan nilai di atas kertas yang akan kita dapat, melainkan nilai di hati setiap orang yang kita temui dalam kehidupan kita.
Setelah wisuda dijalani, kami harus melalui serangkaian tahapan sebelum masuk ke dunia kerja. Pengumuman penempatan, pemberkasan, dll masih harus kami jalani. Penempatan. Bagi sebagian orang mungkin menjadi suatu momok. Bagaimana kalau nanti gak di Jakarta. Bagaimana bila nanti “dilempar” ke daerah. Sebenarnya saya kurang setuju dnegan kata “dilempar” atau “dibuang”. Bukankah dnegan di daerah justru kita dipercaya dapat berkontribusi membangun daerah tersebut. Bukankah mengabdi pada negara tak harus di ibukota atau daerah sendiri. Indonesia luas bung. Di mana pun kita berada, di mana pun kelak kita ditempatkan, selama masih di bumi nusantara, kita tak perlu takut. Orang-orang di daerah kelak kita ditempatkan, mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air. Mungkin kita nanti menemukan lingkungan yang kurang sreg di hati, tapi bukankah justru di situlah tantangan kita. Sanggupkah kita menghadapi zona tak nyaman tersebut? Bukankah di daerah kita bisa berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Rasa persaudaraan pun akan semakin erat. Kita juga bisa menyumbangkan apa yang selama ini kita pelajari. Kita bisa menyumbangkan ide-ide brilian kita untuk turut membangun daerah.
Ya, cerita-cerita penuh hikmah dari sang dosen semalam semakin membuatku sadar. Fakta telah berbicara. Bagaimana peraturan-peraturan yang dibuat oleh orang yang tak pernah terjun langsung ke masyarakat menimbulkan begitu banyak interpretasi di kalangan pelaksana. Bagaimana peraturan-peraturan yang dibuat oleh orang yang selalu berada dalam zona nyaman, dalam praktiknya justru bukan menjadi solusi. Memang kita belum mengalaminya, tapi seandainya kita berada dalam zona nyaman tersebut (dalam artian penempatan langsung di kantor pusat) apakah kita akan berpikir tentang teman-teman kita di Mimika, Bau-Bau, Tahuna dan tempat-tempat yang mungkin tak tertulis di peta. Tak mungkin. Kita akan sibuk memikirkan “penyelamatan diri”. Bagaimana caranya agar saya tetap aman. Bagaimana saya agar tak perlu menelusuri pelosok daerah. Keegoisan kita yang akan berbicara. Kita tidak pernah merasakan bagaimana sulitnya berhadapan dengan masyarakat secara langsung. Hidup hanya untuk membicarakan pekerjaan kantor dan tua di jalan. Tak ada waktu untuk bersosialisasi jika kalian penempatan di kantor pusat. Jika hati tidak kuat, kalian akan lupa segalanya dan terbuai gemerlapnya kehidupan ibukota. Rapat di hotel, malamnya ke bar, siang rapat lagi, malam keluyuran lagi. Begitu menggodanya kehidupan dunia. Lain halnya jika kita penempatan di daerah. Kita tak perlu berhadapan dengan macet. Sepulang kerja bisa bersosialisasi, waktu untuk keluarga jelas ada. Kalaupun kalian penempatan di Jakarta, akan lebih baik jika berada dalam lingkungan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Dari interaksi itu kita bisa belajar banyak hal dibandingkan hanya bertemu rekan sekantor, membicarakan hal kantor, ketemu orang ditanyain masalah kantor, kantor dan kantor. Betapa sayang waktu dan energi kita jika hanya untuk mengurusi masalah kantor. Jadi waktu yang tepat untuk membentuk karakter kita adalah ketika kita menjadi pelaksana, yang terjun langsung menghadapi masyarakat. Di sanalah tujuan hidup kita akan terbentuk.
Jika tujuan hidup kita adalah kekayaan, maka kekayaan dunia tak akan ada habisnya. Ibarat minum air laut, semakin diminum maka kita akan semakin haus. Begitulah inti pelajaran KSPK bebarapa hari yang lalu. Dan ternyata hal yang diajarkan dosen KSPK dan dosbing KTTA sama. Jadikanlah tujuan hidup kita “peran” dalam masyarakat. Seberapa bergunanyakah kamu hidup dalam masyarakat. Hidup kita Cuma sekali, maka jadikanlah itu berarti. Belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja..
Jadi intinya, bersiaplah di mana saja kita akan ditempatkan. Instansi dan daerah penempatan bukanlah masalah jika tujuan kita adalah untuk mengabdi kepada negara. Seperti kata ibu saya ”Asalkan bandara masih buka tiap hari, ibu tidak akan mempermasalahkan di mana pun nanti kamu akan tinggal”. Selama masih berada di bumi Allah, insyaallah kita akan selalu berada dalam naungan-Nya.

Wednesday, March 9, 2011

hikmah perjalanan_Bandung-Solo

Cerita ini mengisahkan seorang anak manusia yang sedang melakukan perjalanan panjang dari Bandung ke Solo. Ya, malam ini aku akan menghabiskan waktuku di perjalanan menuju Solo tercinta. Setelah perjuangan yang begitu keras, akhirnya aku mendapatkan tiket bus yang akan mengantar ragaku ini ke kota tercinta. Meski tempat duduk paling belakang, okelah, disyukuri saja. Maklum, pesen tiketnya juga dadakan. Oke, selepas maghrib bus beranjak meninggalkan agen di jalan Dago. Pelan namun pasti, bus mengantarku keluar dari Bandung. Karena bertepatan dengan jam pulang kantor, maka seperti bisaa, gak di Jakarta, gak di Bandung sama aja, macet. Okelah, kuhabiskan waktu dengan tidur saja, ditemani alunan merdu dari mp3, aku melayang ke alam mimpi.

Beberapa saat kemudian aku terbangun, dan ternyata bus masih terjebak di Bandung. Di sampingku adalah seorang ibu yang ternyata seumuran dengan ibuku yang membawa serta anaknya. Kami pun berkenalan dan mengobrol. Ternyata beliau adalah seorang guru akuntansi di sebuah SMK di Bandung. Nyambung banget lah. Ibu itu tanya aku ngapain ke Bandung. Main Bu, ke rumah temen, mumpung lagi liburan. Ternyata si ibu juga punya hobi yang sama, suka jalan-jalan bahkan sampai sekarang. Waktu mudanya dihabiskan di Jogja dan Purwokerto. Kadang beliau terdampar sampai Garut. Wow, menarik. Ibu itu mengisahkan masa mudanya,. Sebenarnya dari wajahnya kutaksir usianya masih 30an lho, ternyata sudah 48. Efek pake jilbab kali ye, jadi tetep terlihat cantik meskipun usia tak muda lagi. Dia juga menceritakan anak-anaknya, 7 orang kalo gak salah, agak lupa juga soalnya. Pas beliau tanya saudaraku berapa, dengan malu-malu, aku bilang cuma satu. Koq dikit amat ya. Ya, sebenarnya sich kami tiga bersaudara, Cuma pas ibu mengandung adikku yang pertama, beliau keguguran. Jadilah kami sepasang, aku adalah anak yang paling cantik, adikku anak yang paling ganteng.

Ibu itu juga menceritakan bahwa kali sebenarnya tujuannya adalah Surabaya. Karena tiket habis, jadilah ntar transit di Solo atau Jogja. Beliau ntar mau melanjutkan perjalanan naik kereta. Wuih, perjalanan yang amat panjang. Ternyata tujuan beliau ke Surabaya disebabkan oleh kematian ayahanda beliau. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Hanya kepada Allah lah tempat kembali. Jadi inget pelajaran budnus tentang filosofi tumpeng,. Entah berapa kali aja aku ditanya pertanyaan yang sama. Cabe yang melengkung menandakan setelah kematian itu ada arahnya, dan telur atau bawang yang ada di pucak tumpeng menandakan manusia itu berasal dari telur. Ya, memang kita semua berasal dari sel telur yang dibuahi.

Oke, kembali ke cerita awal. Ternyata si ibu sebenarnya sudah mendapat firasat harus ke Surabaya, tapi beliau tunda terus, karena saat ini beliau sedang menempuh S2. Apalagi pekerjaan sebagai seorang ibu dan guru juga menyita banyak waktu. Ternyata emang saya mesti ke Surabaya ya Dhek, kata ibu itu. Ya, diambil hikmahnya aja Bu. Beliau juga agak tersedu ketika menceritakan kenangan bersama ayahnya. Aduh, aku jadi teringat kedua orang tuaku. Ya, teringat akan semua jasa mereka yang tak mungkin bisa kubalas. Bahwa kebersamaan dengan mereka tak akan bisa digantikan oleh apa pun. Bahwa tiap saat mereka berdoa untukku, merestui jalan yang kutempuh. Meski aku dulu sempat kesal. Ya, waktu masih SD kelas 1 dan 2, aku pernah kesal, tapi kupendam. Kenapa sich ibuku tak seperti ibu teman-temanku. Mereka menunggui teman-temanku ketika TK. Tapi aku sendiri. Ketika pulang sekolah pas SD, ibu juga ada menunggu di rumah, tapi aku harus menunggu jam 12 untuk bertemu ibu. Sampai-sampai baju ganti pun disediakan di kursi teras, setelah itu aku main ke tempat nenek. Betapa tidak bersyukurnya aku waktu itu. Ya, jiwa anak kecil yang masih polos. Kini, betapa bersyukurnya aku, ibuku walaupun wanita karier, tapi hanya 5 jam lah beliau di luar. Paling gak selepas zuhur, ibu sudah pulang. Begitu juga dengan ayah, jadinya kalau aku minta jemput, ato ada apa-apa dulu pas SMP dan SMA, ayah selalu ada. Nantinya, bisakah aku seperti ibu yang selalu bisa menyediakan waktunya untukku. Bisakah nanti aku menyediakan waktu untuk anak-anakku. I hope so.
Kembali ke cerita tadi, ibu itu juga membangunkanku ketika bus berhenti. Entah di daerah mana, tapi aku enggan beranjak dari tempatku, udah pewe soalnya. Kulanjutkan lagi menuju buaian alam mimpi. Tengah malam entah jam berapa ketika aku terbangun, anak ibu itu bertanya apakan air yang sekarang dia bawa milikku. Bukan dhek, punya Mbak ada di tas koq. Subhanallah, anak usia 10 tahun kutaksir itu begitu jujurnya. Bahkan dia sangat menjaga makanan dan minuman yang masuk perutnya.

Ketika jam menunjukkan pukul 07.00, sampailah bus di Jogja, tepatnya di depan Stasiun Tugu. Ibu itu tergesa-gesa ingin turun. Kuberi tahu bahwa aka nada kereta jam setengah 8 yang menuju Surabaya. Ibu itu akhirnya turun, jadilah tempat dudukku longgar sekarang. Bus melanjutkan perjalanan. Koq asing ya, ini di jogja, tapi bukan seperti tempat biasa kulewati. Dan benar saja, ternyata bus lewat jalur ringroad utara. Pantes aja, yang ku tahu kan ringroad selatan ma timur.
Jam setangah sepuluh bus masuk terminal Tirtonadi. Kata awak bus sich bisa turun di Kentingan. Oke lah, mending turun di Kentingan aja. Ternyata pas keluar dari bus, tinggal 2 penumpang yang tidak turun di Tirtonadi. Kami pun ngobrol dengan pak sopir. Sopirnya bingung ketika menanyaiku, kuliah di Jakarta, tadi dari Bandung, terus turun dekat UNS, sekarang mau naik bus lagi ke Matesih. Hohoho, setelah kujelaskan bahwa kali ini liburan, akhirnya main ke Bandung, sekarang turun dekat UNS, soalnya banyak temen yang kos di belakang UNS, tapi mau pulang ke Matesih, bapak sopir ngerti juga. Aku diturunkan di Pedaringan karena memang di situlah tempat pemberhentian terakhir. Pak sopirnya malah takut kalo aku berpikir yang enggak2, koq diturunkan di tempat seperti itu. Tenang Pak, saya udah berapa tahun aja ya, sejak SMA lah kenal daerah ini. Hehehe, salut juga buat bapak sopir itu, dia menjaga dirinya dari prasangka orang.

Sekarang sampai di Pedaringan, nyebrang sekali, nunggu lah bus yang akan membawaku ke terminal Matesih. Aih2, koq lama. 15 menit menunggu, aku udah gak sabar. Ya iyalah, bepergian dalam keadaan belum madi dan sarapan adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Mau ke kos temen, enggak ah. Takutnya mereka lagi pada pulkam, kan hari libur. Akhirnya ada bus jurusan Tawangmangu. Ya udahlah, naik itu aja. Begitu sampai di Karangpandan, kulihat sesosok pria tangguh telah menantiku dengan sabarnya. Ya ayah telah datang menjemput. Huwa, lega rasanya. Kucium tangannya dan kami menuju rumah tercinta. Gak ada sepuluh menit, sampailah aku di surga duniaku. Airnya masih segar dan bening saja. Tapi tetep, ada yang berubah tiap kali aku pulang. Apa sajakah yang berubah, nantikan kelanjutannya.

Tuesday, March 8, 2011

hikmah perjalanan_Bandung

Hari ini 040311 tujuan kami adalah Bandung. Kisah ini masih menceritakan 3 anak manusia yang bernama Erna, Inten, dan Hani. Bisa dibilang mewakili kos Aliefha, bisa mewakili keluarga Happy Tree Family, bisa juga dibilang mewakili 2 bidang Himas, Pora dan SPK. Aih2, banyak amat ya yang diwakili. Ya, begitulah kami. Walaupun pada kenyataannya akan ada 2 personil tambahan dalam petualangan kali ini. Siapa dia? Kita kembali setelah pesan-pesan berikut. Lho!

Masih menaiki kendaraan yang sama seperti ke Tangkuban Perahu, elf. Kami berangkat lebih pagi daripada kemarin. Biar lama di Bandungnya, hehehehe. . . Setelah sarapan cakue dan masakan lezat Mamanya Inten, kami menuju terminal yang sama, Terminal Subang. Kami beruntung, dengan adanya kami bertiga, elf tinggal menunggu satu penumpang lagi. Tak berapa lama kemudian, seorang openumpang dating dan memenuhi elf yang akan kami tumpangi, berangkaaaaaaaaaaattttttttt. Masih melewati rute yang sama, masih dengan pemandangan yang sama, kali ini melewati juga beberapa papan yang bertuliskan kebun stroberi di Lembang. Ahhhhhhh, pengeeeeeeeeeennnnn. Ya sudah, ntar cari aja di Tawangmangu yang deket rumah.

Perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam lah. Tujuan pertama kami: Stasiun Hall. Kenapa stasiun? Karena rencananya hari itu juga aku pulang ke Solo naik kereta api tut tut tut. Dan ternyataaaaaaaaaaa, Lodaya Malam sudah habis. Kereta bisnis tujuan Surabaya pun juga habis. Yang ada apa? Mutiara Selatan. Berapa bayarnya? 190ribu. Noooooooooo. Akhirnya aku memutuskan lebih baik pulang naik bus saja lah.

Kecewa yang menyelimuti karena gagal mendapat tiket kereta tak menghalangi niat kami berkeliling Bandung. Ya, dari stasiun Hall, kami menuju Pasar Baru. Mau tau gimana sich perbedaan pusat grosir di tiap-tiap kota. Ternyata pusat grosir memang memiliki ciri khasnya sendiri. Tanah Abang di Jakarta, Pasar Baru di Bandung, Beringharjo di Jogja, sampai PGS-BTC-Klewer di Solo memiliki daya tarik masing-masing lah. Di Pasar Baru, kami mendapat tambahan personil untuk jalan-jalan. Sebut saja namanya Fini, teman Inten yang pernah merasakan suasana yang begitu menarik di Aliefha.

Di Pasar Baru, kami mengandalkan Inten dan Fini untuk menawar barang yang ingin kami beli. Maklum, mereka kan bias bahasa Sunda, sedangkan saya, Sunda pasif saja masih belepotan. Sebut saja Cuma mengerti dikit-dikit lah, kan Bahasa Sunda mirip-mirip ma Bahasa Jawa.
Perjuangan paling berat ketika di pasar Baru adalah mendapatkan sepatu yang diincar Hani. Maklum, orang satu ini memang memiliki ukuran sepatu yang super dan seleranya juga super. Mengincar merk C*****se yang tak biasa, namun terkendala harga. Yah, awalnya dia menawar 60ribu untuk sepasang sepatu yang bertarif 125ribu kata si penjual. Tapi si penjual menurunkan harganya menjadi 80ribu. Ya sudahlah, keliling cari yang lain aja dulu, siapa tau dapet yang lebih murah. Rupanya setelah berkeliling mulai lantai dasar sampai lantai teratas, tidak ada penjual yang menjual sepatu yang sama. Tunggu, di lantai teratas ada foodcourt lho. Kami makan siang di sana. Tapi saya sarankan buat yang pengen ke Pasar Baru dan tak ingin diganggu kenyamannya waktu makan, foodcourt lantai teratas bukanlah pilihan terbaik. Baru saja melangkah beberapa meter dari escalator, Anda kan segera dirubungi sales makanan. Mana mereka maksa lagi. Huh, sebenernya illfeel banget pas itu. Tapi apa boleh buat, perut sudah meronta. Harga yang ditawarkan juga lumayan mahal untuk ukuran mahasiswa. Apalagi porsinya dikit. Hmmmmmmmm, ya sudahlah, disyukuri saja masih bisa makan siang.

Selanjutnya, usai makan siang, Hani kembali mendatangi penjual sepatu yang diincarnya. Wow, kali ini tarifnya lebih mahal. 100ribu. Padahal tadi udah sampai 80 ribu. Akhirnya kami mengunjungi pusat sepatu yang berada beberapa ratus meter dari Pasar Baru. Entah apa namanya yang jelas kawasan itu terdiri beberapa pertokoan yang menjual aneka sepatu, tapi ternyata oh ternyata, sepatu yang dimaksud tak ada. Akhirnya diputuskanlah kembali ke Pasar bru. Daaaannnnnnn ternyataaaaaaaaaaa, harganya naik lagi jadi 110ribu, dah gak boleh ditawar. Kiyaaaaaaaaaaa………. Hani akhirnya nyerah demi sepatu incarannya. Ya sudahlah, yang penting dapet.

Puas cari oleh2, dalam hal ini makanan juga lho ya, baju yang beli cuma Inten, aku dapet jaket buat adhekku tersayang, dan Hani dapet sepatu incerannya, kami berpisah dengan Fini. Hiks2, ya sudah, mg lain kali bias jalan bareng lagi.
Tujuan selanjutnya adalah ITB. Karena hari juga udah masuk waktu Ashar, kami sholat di masjid Salman. Usai sholat, kami bertemu tambahan personil lainnya. Jeng jeng jeng, Ryan lah orangnya. Awalnya kami ngobrol2 gak jelas seperti biasa.

Laluuuuuuuuu, aku bilang mau pulang Solo hari ini, kira-kira agen bus dimana aja ya. Sebenernya manggil Ryan sich buat menemani dan mencarikan bus, aduh, maaf ya Ryan, dipanggil buat direpotin. Dan memang benar saja, Ryan lah yang repot nyariin agen bus. Bandung E****ss full, nyari satu lagi, lupa namanya juga full. Tanya mbah Google, ternyata ada agen bus deket ITB, oke, ditelfon, masih ada 3 kursi. Oke lah, akhirnya hari itu juga aku pulang. Mendekati pukul 5 sore, Inten dan Hani pamit duluan ke Subang, takutnya udah gak ada angkot lagi kalo kemaleman. Oke, paling gak aku gak sendiri di kota yang baru pertama kali aku datangi. Benar juga perkiraan dulu pas SMA ikut study tournya ke Bali, toh kalo ke Bandung bisa ntar sendiri, meski Bali juga ntar bisa sendiri sich.

Oke, menjelang maghrib, kami mendatangi agen bus itu. Benar saja, ternyata Cuma seratus dua ratus meter lah dari ITB. Menunggu sejenak. Ryan pun pulang. Tak berapa lama bus yang membawaku ke Solo datang. Hmmmmmm, lega rasanya.

Monday, March 7, 2011

hikmah perjalanan_Tangkuban Perahu

Tangkuban perahu, ya itulah tujuan kami hari itu. Kamis 030311 kami mengawali hari dengan wajah sumringah. Berpijak dari Subang pukul delapan lewat lah, kami menuju terminal bus. Di sana kami akan naik kendaraan yang terbilang unikyang disebut “elf”. Nama yang begitu eksotik. Bentuknya seperti “colt” kalau di daerahku. Elf melayani transportasi jurusan Subang-Bandung. Angkutan umum yang satu ini tak akan mau berangkat kalau penumpangnya belum penuh. Penuh dalam hal ini berarti berdesak-desakan. Satu elf bisa diisi lebih dari 20 orang. Ketika kami datang masih ada sisa tempat untuk empat orang. Alhasil kami harus menunggu. Tepat pukul sembilan, elf penuh dan kami pun berangkat. Ongkos tiap orang adalah 12.000 rupiah. Turun dimana pun tetap bayar segitu karena elf tidak menaikkan penumpang di jalan.

Kami bertiga, Erna, Inten dan Hani pun meluncur dari Subang menuju Tangkuban Perahu. Perjalanan satu jam terasa sangat menyenangkan. Banyak sekali hal yang mengingatkanku pada keadaan di rumah. Entah jalannya yang berkelak-kelok, naik turun, sampai letter S khas pegunungan, udaranya yang segar, maupun hamparan kebun teh yang mengingatkanku pada daerah Kemuning.

Kami turun di gerbang bawah. Di sana kami ditawari naik angkot kuning sampai dekat kawah. Sopir angkot kuning itu sangat gigih menawarkan jasanya. Kami pun menolak dengan halus. Tujuan datang kesini kan untuk jalan-jalan. Gak asyik lah kalo gak capek. Ternyata gerbang bawah udah lama ditutup. Kami pun jalan ke gerbang atas. “Mendaki gunung lewati pinus, jalan membentang indah di Tangkuban, bersama teman bertualang”. Lagu OST Ninja Hatori menemani perjalan kami. Setelah berjalan kurang lebih 1km, ada angkot kuning yang menawarkan jasanya pada kami. Karena keadaan jalan naik menguras tenaga kami, akhirnya kami bernegosiasi dulu dengan kenek angkotnya. Katanya sich bayarnya cuma 11ribu. Ah, mahal. Si kenek menjelaskan kalau itu sudah termasuk tiket masuk. Ya udahlah, oke, kami naik angkot kuning tersebut. Ternyata cukup jauh jarak dari gerbang loket sampai ke lokasi kawah. Hmmmmmmm, kalo jalan, tadi gimana ya, kasian si kaki.

Saat hampir sampai bibir kawah, ternyata kami ditarik ongkos 40 ribu per orang, aih, mahalnyo. Ternyata udah gak bias dinego lagi. Tapi sebenarnya kami lebih kasian sama mas-mas yang naik angkot yang sama. Dia kena 70ribu. Perampokan secara halus ni. Buat yang mau ke Tangkuban Perahu, lebih baik jangan naik angkutan umum lah. Bawa kendaraan pribadi aja. Buat pemda Subang, diperbaiki lah layanan wisatanya. Tangkuban Perahu kan sudah terkenal, fasilitasnya diperbaiki dong. Paling gak ada angkutan umum dari gerbang sampai atas. Jangan cuma dari parkiran bus saja. Jarak parkir bus-gerbang loket kan sangat jauh. Kasian kalau jalan. Lebih kasian lagi kalau kena perampokan kayak kami. Ternyata hal itu juga udah berlangsung sejak lama. Udah pernah masuk surat pembaca lagi, tolong keluhan masyarakat diperhatikan dong.

Kembali ke cerita angkot tadi. Angkot kuning itu benar-benar preman. Harusnya kalo emang masang tariff 40ribu, ngomong dari awal dong. Awalnya aja bilangnya cuma 11ribu. Kami benar-benar tidak ikhlas. Padahal tiket masuk 13ribu, dan untuk kami bertiga cuma dikasih 1 tiket. Gak berkah tu duit.
Oke, karena udah bayar mahal, kami tak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Mulai lah kami berkeliling kawah yang sangat eksotis itu. Dari sudut mana pun terhampar pemandangan yang begitu menakjubkan. Betapa diri ini merasa sangat kecil dihadapan-Nya. Padahal tempat itu hanya setitik dibandingkan bumi. Padahal bumi hanya setitik dibandingkan alam semesta. Betapa kecilnya kami dihadapan-Mu, ya Allah. Tak akan cukup waktu sehari untuk mengabadikan setiap titik di kawasan itu. Di depan kami terlihat kawah yang begitu mempesina, di belakang berdiri megah hamparan gunung-gunung. Sebelah kanan awan putih nan lembut dan kabut tipis menggoda menyapa. Wow, amazing.

Puas foto-foto di sekitar kawah Ratu, kami memutuskan ke kawah Domas. Suasana mistis menyelimuti jalanan menuju kawah Domas. Pohon-pohon dengan bentuknya yang unik menyapa kami. Jalanan yang sepi, kicauan burung menambah suasana menjadi damai. Di tengah perjalanan, rasa ragu menyelimuti naluri kami. Akhirnya kami memutuskan kembali, padahal sudah berjalan beberapa ratus meter. Sampai di sekitar kawah Ratu, kami memutuskan mencari makan siang. Ah, sangat tidak menyenangkan. Jauh-jauh ke Tangkuban Perahu, makanannya bakso Solo, udah gitu lagunya Stasiun Balapan. Ada sisi positifnya sich, berarti masyarakan kita telah menyebar dan menyatu. Tapi kesel juga sich. Maunya kan menikmati makanan khas setempat. Yang paling berkesan tentu saja suara angklung yang begitu indah. Pantas saja Malaysia mengklaim angklung sebagai budayanya. Emang begitu indah dan menenangkan suaranya. Apalagi dinikmati di pegunungan dengan hawa segar dan angin yang sepoi-sepoi. Baru pertama kali ini aku mendengarkan angklung dalam suasana yang damai seperti ini.
Lanjut ah, karena emang udah laper, ya udah lah, bakso Solo juga gak papa. Ternyata oh ternyata, harganya 10 ribu sodara-sodara. Dua kali lipat harga Kalimongso. Padahal di rumah, bakso Kamal pun 3ribu juga bias dapet. Hahaha, efek orang yang terbiasa tinggal di tempat yang biaya hidupnya murah. Akhirnya cari penjual lain, daaaaaaaaaaaaaaannnnnnn, dapet lah semangkok 6 ribu. Inten hebat, nawarnya pake bahasa Sunda lah, hehehehe.

Kami pun menikmati semangkok bakso, segelas bandrek yang ditawar jadi 3 ribu per gelas, dan ketan bakar seharga 10ribu 3. Kayak kaos kaki di pasar malem warung jengkol aja. Beberapa saat kemudian, hujan rintik-rintik menyapa. Ya sudahlah, kami berteduh di gedung pusat informasi. Setelah gerimis reda, kami memutuskan mengelilingi kawah Upas. Tak terlalu jauh memang, palingan 500 meter. Padahal pas tanya ibu-ibu katanya 1200meter. Pas tanya jarak kawah Domas juga segitu. Apa mereka tahunya jarak cuma 1200 meter ya, entahlah. Lupakan saja. Yang jelas berada di kawah Upas sangat menyenangkan. Kami bias berfoto dengan backgroung yang menakjubkan, berteriak sekenceng-kencengnya. Bias tiduran juga lho. Kalo mau mengelilingi bibir kawah, juga bias. 3 jam katanya. Ah, tidak, terima kasih, membayangkan saja sudah ngeri. Apalagi buat aku yang takut ketinggian. Jalanan terjal mendaki dengan kawah nan curam dan dalam tepat di samping kita. Yang jelas bukan keadaan jalannya yang membuatku ngeri. Tepat bibir kawah itu lho. Sebenarnya dalam hati pengen sich, tapi tidak ah.

Setelah puas menikmati kawah Upas, kami memutuskan pulang. Jalan kaki lah, kan
jalanan turun, tidak akan menyita tenaga sebanyak kalau naik. Apalagi tiap 100 meter mungkin, ada shelter. Oke, kami berjalan kaki turun ke gerbang. Melihat ada masjid di parkir bus, kami singgah ke sana, masjid yang menenangkan. Bertahtakan cat hijau muda, sangat menyejukkan. Apalagi airnya yang mak nyes, mengingatkanku pada air di rumah saat subuh, atau air di Tawangmangu lah. Kami beristirahat sejenak setelah sholat di masjid itu. Abis itu, lanjut jalan lagi. Baru berjalan beberapa puluh meter, ada elf GRPP menawarkan tumpangan pada kami. Bayarnya berapa? Cukup 10 ribu bertiga. Gak seperti angkot kuning preman tadi. Huwaaaaaaaaaaa, sampailah kami di gerbang dan disodori hamparan kebun teh. Akhirnya kami foto-foto di kebun teh itu. Gerimis melanda lagi dan pada saat yang bersamaan ada angkot ke Subang, kami pun naik angkot itu. Tarifnya 10ribu sampai Subang.

O ya, tambahan informasi, harusnya di soal budnus gak cuma perbedaan gadis Sunda ma Minahasa, tapi juga perbedaan kebun teh di Subang dan di Karanganyar. Mau tahu jawabannya? Silakan kunjungi Tangkuban Perahu dan Air Terjun Jumog atau Candi Sukuh atau Candi Cetha. Anda akan melihat perbedaannya (malah promosi… biarin, majukan pariwisata domestic kita dong, kalau bukan kita, siapa lagi, kalau bukan sekarang, kapan lagi

Sunday, March 6, 2011

hikmah perjalanan_subang

Pagi hari aku masih sibuk menyiapkan outline yang akan diserahkan ke sekre. Alhamdulillah, urusan outline akhirnya beres. Sampai di kosan, aku langsung mempersiapkan diri, packing2 buat perjalanan ke Subang. Setelah menunggu sang empunya rumah selesai dengan segala keperluannya di kosan, kami berempat meluncur ke jalan Ceger. Kami berempat yang kumaksud adalah aku sendiri, Inten selaku sang empunya rumah, Hani selaku suami nan kekar yang berpoligami, dan Ayu selaku juru masak kos Aliefha. Sekian lama menanti, akhirnya angkot ke Kreo pun datang. Kami langsung menempelkan pantat ke kursi angkot. Di sepanjang perjalanan ke Kreo, ada-ada saja bahan bercandaan kami. Sampai di Kreo, angkot menurunkan kami. Kami pun menyeberangi jalanan nan macet. Aduh, susahnya nyebrang di jalan padat penjuru ibukota.

Setelah melalui perjuangan yang berat menyeberangi jalan, kami menunggu bus yang akan mengantar ke Kampung Rambutan. Entah mengapa daerah ini dinamai Kampung rambutan, padahal aku tak melihat penjual rambutan, pun dengan pohon rambutan. Yang ada malah terminal yang di depannya berdiri megah jalan layang dan jalan tol yang bikin pusing kendaraan karena kalau mau nyebrang jalan aja susahnya bukan main, harus muter dulu ngelewatin tol, meliuk menyusuri jalan, baru deh bisa nyebrang. Setelah sejam lebih di bus ber AC yang gak dingin, kami turun sebelum bus masuk terminal. Ayu yang akan melanjutkan perjalalanan ke Bekasi pun kami tinggal. Maklum, kami bukanlah orang yang sabar menunggu bus yang ngetem. Lima menit berdiri, bus yang akan meluncur ke Subang pun datang. Kami pun naik. Tapi entah mengapa bus cuma muterin jalan tol dan kembali ke posisi semula saat aku dan teman-teman naik bus itu. Lucunya, bus tidak mau masuk terminal dan hanya lewat di depannya saja. Untuk mengantisipasi agar bus tidak masuk terminal, sang kenek pun mengganti papan rute bus dengan kata ‘pariwisata’. Ide yang unik. Setelah melalui terminal, papan rute diputar lagi menjadi Jakarta-Subang. Hal unik pertama yang aku peroleh dari perjalanan kali ini.

Kadang aku kasian sama PO-PO itu. Apakah mereka bias menutupi paling nggak cost sekali jalan. Bus yang aku tumpangi tidak penuh. Mungkin karena kebanyakan orang sekarang lebih memilih kendaraan pribadi. Aku pun sejujurnya juga akan lebih memilih naik kendaraan pribadi kalau bukan keadaan terpaksa.
Setelah berkutat di bus Jakarta-Subang selama tiga jam, sampailah kami di rumah bercat hijau nan menyejukkan mata di Perum dekat terminal Subang, yah, di tempat itulah untuk beberapa hari kami akan menghabiskan waktu. Keluarga Inten, bersabarlah menghadapi kami untuk beberapa hari ke depan.

kekuatan secoret tanda tangan

Outline, outline, akhirnya ditandatangani juga. Lucu juga proses persetujuan outline kami. Aku dan teman-teman sedosbing sudah dibuat galau karena tidak adanya kabar sama sekali selama, tunggu kuhitung dulu, hmmmmmmm 16 hari lah. Yah, aku dan teman-teman sedosbing yang semuanya cowok memang sudah diminta membuat outline dalam jangka waktu tiga hari semenjak pertemuan perdana kami dengan sang dosbing. Hari Jumat sebelum UAS outline sudah kukirim dan dosen baru bias dihubungi hari minggu setelah UAS, padahal UAS kami dua minggu. Hmmmmmmmm, waktu yang lumayan lama tanpa kabar sukses membuat kami galau, kata yang sedang popular saat ini. Apalagi UAS selesai hari jumat, otomatis setelah itu aku nganggur tanpa kerjaan dan kepastian. Apalgi hujan turun sepanjang hari. Alhasil rencana jalan-jalan keliling Jakarta harus ditunda. Betapa membosankan. Untuk mengisi waktu, kadang kami anak sekosan melakukan hal-hal geje. Untungnya anak kosan masih lengkap karena mengalami nasib yang sama, belum ada kepastian dari dosen tanteng nasib outline. Hari minggu setelah UAS, datanglah sms yang cukup menghibur. Pak dosbing mau ketemu, tapi waktu dan tempat belum pasti. Beliau juga udah tahu batas akhir outline hari Jumat. Ah, lega, paling nggak ada sedikit kepastian. Maka rencana maen ke Subang hari Selasa diundur sehari, karena berbagai alasan. Mulai ketemu sama dosen, nyuci baju, beres-beres kosan, deelel.
Hari senin; ujan turun sepanjang pagi, alhasil rencana ke dufan gatot. Pasti jalanan macet karena banjir. Akhirnya lumutan di kamar, nonton film sambil teriak-teriak gak jelas.
Selasa: lamanyo nunggu jam 2. Jam 1 kurang 5 menit datanglah sebuah sms. Jeng jeng jeng, dosen minta ketemuan jam 1 sampai 1.30. aku ngedumel gak jelas, outline belum di print, untung dah mandi. Aku pun jadi ngelantur gak jelas. Muka pun kusut. Akhirnya ngeprint lembar persetujuan aja, biarin ah. Setelah ngeprint lembar persetujuan, aku pun berlari menuju gedung i. sesuai perkiraan, ada temanku yang belum dating. Setelah dibaca sekilas, lembar persetujuan pun ditandatangani. Lega rasanya. Jam 2 kurang seperempat aku dan teman-teman sedosbing meninggalkan gedung i. Muka kami pun cerah ceria. Secoret tanda tangan mampu mengubah suasana hatiku seketika.
sampai kosan, aku mengedit sedikit outlineku. Maklum, salah margin, tinggal diatur-atur aja, beres, diprint, dijilid. Keesokan harinya kuserahkan ke sekre untuk dikumpulkan dan ditandatangani ajun akuntan. Oke, urusan outline beres. Saatnya focus liburan dan menyicil KTTA.

Sunday, February 13, 2011

bimbang

Kebimbangan memang sempat menghantui sampai-sampai saya membuat 2 outline untuk diajukan ke dosen pembimbing. Ada beberapa factor yang membuat saya melakukan hal tersebut.
Pertama data sudah jelas saya dapat, tapi saya masih belum tahu akan membahas apa. Apalagi saya khawatir kalau pembahasan saya justru masuk ranah mata kuliah lain.
Kedua saya masih balum yakin data saya dapat dan saya juga masih belum tahu apakan datany tersedia, tapi saya sudah yakin apa yang akan saya bahas
Sampai-sampai jika satu diantara dua tema yang saya ajukan ditolak semuanya, saya sudah merancang plan C. saat ini sudah mencoba mencari link walau sebatas baru bertanya dimana mengambil data dan belum melakukan pendekatan secara langsung. Walau mungkin plan C ini paling menantang.
Belum lagi dalam hitungan hari, UAS menghadang di depan mata. Padahal nilai UTS juga tidak dapat diandalkan. Apalagi untuk pertama kalinya dalam sejarah dipanggil; dosen gara-gara nilai kurang. Ya Allah, mudahkanlah semuanya.
Beginilah memang kegalauan anak tingkat 3 yang akan menghadapi UAS dan KTTA. Semoga semuanya dimudahkan, amin.