Monday, December 6, 2010

Hujan


Entah mengapa saya suka sekali aroma hujan ketika membasahi tanah yang gersang. Ada semacam feromon yang menarik indera penciuman ini menghirup aroma itu sedalam-dalamnya. Pun dengan sekarang. Hujan sedari sore tadi menyapa sang bumi menyebarkan ketenangan dan kesejukan jiwa. Nyanyiannya benar-benar lebih indah dari irama Mozart atau Bethoven sekalipun. Suasana sejuk dan segar yang dipancarkan begitu memukau hati yang membara. Ingin sekali rasanya berada di padang rumput, lalu turunlah gerimis kecil yang bersembunyi di balik awan tipis dan sedikit demi sedikit membasahi tubuh ini. Teringat kala masih kecil, bermain dengan hujan begitu menyenangkan walau setelah itu pasti omelan datang dari ayah dan ibu yang begitu mengkhawatirkan kesehatan putri kecilnya.
Hujan, begitu luar biasa karunia yang dibawanya, walau tak jarang orang mengumpat dan kesal ketika dia datang dengan lebatnya.
Hujan, kadang dinanti dengan penuh harapan, kadang dibenci dnegan penuh kesombongan.
Hujan, banyak makhluk yang menginginkan, banyak pula yang menafikkan. Di desa dan pegunungan begitu dirindukan, di kota sangat tak diharapkan. Padahal kehadirannya sangat berjasa. Meredam debu yang beterbangan, panas yang merajam hingga mendatangkan angin kesejukan. Meski dituding penyebab bencana, hujan selalu datang dengan senyum manisnya, mencoba bertahan pada keseimbangannya. Padahal, manusia lah yang pongah tak mau merawat bumi tempat berpijak yang menjadi sarana penghidupan. Betapa egoisnya makhluk yang bernama manusia. Inginnya mengambil tanpa memikirkan dampak hasil perbuatannya.

Untuk Indonesia yang Lebih Baik


Kupandangi jemari yang menari di atas keyboard. Kutatap layar yang memancarkan jutaan titik cahaya yang merusak mata. Kurasakan sekeliling hampa. Hanya winamp yang tak pernah lelah mendendangkan nyanyian pelipur lara, walau kadang liriknya menambah duka. Sementara di balik tembok kaku ini, sang mentari memberikan sinar harapan dan kehangatan kepada bermilyar makhluk yang sangat tergantung padanya. Entah konspirasi apa yang sedang terjadi di luar sana, aku tak peduli.  Mungkin saat ini Israel sedang membombardir rakyat Palestina yang terus berjuang demi tanah airnya. Mungkin saat ini Amerika sedang menyusun rencana negara mana lagi yang akan digerogoti demi sebotol bir, sekerat daging babi atau seonggok makhluk bernama pelacur yang rela menjual tubuh dan harga dirinya demi selembar dolar atau bahkan hanya kepuasan sementara. Sementara di luar sana petani berjuang mempertahankan kehidupan banyak orang dengan tanpa kenal lelah menggarap sawahnya. Pedagang asongan bertahan demi kelangsungan hidup keluarganya di desa. Perampok juga berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya. Walau dengan cara berbeda dan kadang tak dapat dinalar akal, tapi mereka mempunyai satu tujuan mulia. Di tempat lain, koruptor dengan santainya mengipasi dirinya dengan lembaran seratus ribuan, padahal dia tak tahu atau bahkan tak mau tahu bagaimana lembaran itu diperjuangkan rakyatnya dengan tetesan keringat, penuh perhitungan, dan juga penuh keikhlasan demi kelangsungan negaranya. Seenaknya saja dia berlibur di atas kapal pesiar mewah, makan makanan mahal, belanja barang mode terbaru, mengendarai jaguar atau alphard terbaru, menenteng handphone dan laptop puluhan juta rupiah, minta tunjangan beratus juta, minta gedung baru trilyunan rupiah. Semua untuk apa? Untuk adu gengsi kah. Ini lho negaraku mampu membayar semua ini, negeriku tak miskin lagi kan? Apakah itu yang dicari? Sementara di balik perumahan mewahnya ada seorang anak yatim piatu terkapar di pinggir jalan karena kelaparan. Seorang pengemis tua harus tidur di kolong jembatan karena tak punya tempat bernaung padahal yang mewakilinya tidur di atas spring bed empuk nan mewah dan baru saja makan malam di restoran mewah yang satu porsinya seharga jutaan rupiah. Apakah ini cermin sebuah bangsa yang membanggakan kekayaan alamnya.
Jikalau kita hitung, memang negeri ini memiliki semuanya. Kita mengisolasi diri pun masih mampu memenuhi kebutuhan berates juta rakyatnya. Tapi kekayaan negeri ini terus mengalir ke negeri seberang hanya karena tak mampu mengolah kekayaannya sendiri. Lebih memilih membeli daripada mengolah. Lalu salah siapa? Salah pemerintah? Salah rakyat? Atau salah negeri seberang yang mengambil kekayaan kita?
Mari kita tidak saling menyalahkan Saudara-saudara. Kita harus sama-sama berbenah, baik pemerintah maupun rakyat. Mari kita mengubah diri kita, menjadi lebih rajin, lebih cerdas, lebih baik untuk masa depan negara kita. Sesungguhnya negara-negara yang dibilang maju itu takut pada kita, takut kita melebihi mereka karena memang kita memiliki potensi untuk itu. Oleh karena itu mereka berusaha memperdaya kita, melemahkan kita. Jangan diam saja kawan, ayo bangkit untuk Indonesia yang lebih baik.