Sunday, August 7, 2011

Masih Tentang Wisuda

Mengapa judulnya masih? Karena sebenarnya saya telah menulis uneg-uneg tentang kompre dan wisuda, tapi karena ada beberapa kata yang tidak pantas untuk dipublish, maka saya memutuskan biar tulisan itu tersimpan indah di laptop saya. Takutnya sih, nanti ada beberapa pihak yang tidak terima kalo saya publish.

Mendengar suara kedua orang nun jauh di lintas provinsi sangat menenangkan hatiku. Ya, setelah beberapa kali menunda menelepon karena merasa belum menemukan waktu yang pas, akhirnya mereka lah yang menghubungiku. Memang ya, kasih sayang dan rasa rindu orang tua jauh melebihi kasih sayang dan rindu anaknya. Meskipun hanya bertanya kabar, apa yang sedang dilakukan, dan masih punya uang kah, suara ayah dan ibu sangat meneduhkan. Ya, aku bersyukur memiliki keluarga yang hebat. Ibu dengan kesabaran, perjuangan dan kasih sayangnya. Ayah dengan perjuangan, kesetiaan dan dedikasinya. Adek dengan kemanjaan dan kelucuannya. Setelah beberapa kali becakap-cakap akhirnya kuberanikan juga berkata tentang polemik wisuda yang terjadi. Bahwa untuk mendapatkan dua pendamping harus rebutan. Ah, tak tega sebenarnya aku mengatakannya. Namun, harus bagaimana lagi. Jauh di lubuk hatiku aku tak bisa memilih. Hal ini ibarat aku harus memilih salah satu diantara mereka. Tentu saja aku tak akan pernah bisa. Dan ternyata kebijakan itu pun bersuara. Ya, ayah dengan bijaknya mengatakan hal itu tak menjadi masalah. Toh ayah bisa menunggu di luar. Miris sekali mendengarnya. Lelaki yang begitu setia menunggu ketika menjemputku pulang dari perantauan rela menunggu lagi di saat aku merayakan kelulusan di dalam gedung. Tidak, aku sungguh tak rela walaupun kutau ayah orang yang begitu supel. Jadi tak masalah jika beliau sendiri. Dengan cepatnya pasti beliau akan mendapat kawan bicara. Tapi tidak, aku tak terima. Aku yang melihat perjuangannya selama 22 tahun kehidupanku harus melihatnya menunggu sang puteri tercintanya di luar. Tidak ayah. Aku akan berjuang mendapatkan dua tiket itu. Doakan anakmu ayah, ibu.

No comments:

Post a Comment