Wednesday, March 9, 2011

hikmah perjalanan_Bandung-Solo

Cerita ini mengisahkan seorang anak manusia yang sedang melakukan perjalanan panjang dari Bandung ke Solo. Ya, malam ini aku akan menghabiskan waktuku di perjalanan menuju Solo tercinta. Setelah perjuangan yang begitu keras, akhirnya aku mendapatkan tiket bus yang akan mengantar ragaku ini ke kota tercinta. Meski tempat duduk paling belakang, okelah, disyukuri saja. Maklum, pesen tiketnya juga dadakan. Oke, selepas maghrib bus beranjak meninggalkan agen di jalan Dago. Pelan namun pasti, bus mengantarku keluar dari Bandung. Karena bertepatan dengan jam pulang kantor, maka seperti bisaa, gak di Jakarta, gak di Bandung sama aja, macet. Okelah, kuhabiskan waktu dengan tidur saja, ditemani alunan merdu dari mp3, aku melayang ke alam mimpi.

Beberapa saat kemudian aku terbangun, dan ternyata bus masih terjebak di Bandung. Di sampingku adalah seorang ibu yang ternyata seumuran dengan ibuku yang membawa serta anaknya. Kami pun berkenalan dan mengobrol. Ternyata beliau adalah seorang guru akuntansi di sebuah SMK di Bandung. Nyambung banget lah. Ibu itu tanya aku ngapain ke Bandung. Main Bu, ke rumah temen, mumpung lagi liburan. Ternyata si ibu juga punya hobi yang sama, suka jalan-jalan bahkan sampai sekarang. Waktu mudanya dihabiskan di Jogja dan Purwokerto. Kadang beliau terdampar sampai Garut. Wow, menarik. Ibu itu mengisahkan masa mudanya,. Sebenarnya dari wajahnya kutaksir usianya masih 30an lho, ternyata sudah 48. Efek pake jilbab kali ye, jadi tetep terlihat cantik meskipun usia tak muda lagi. Dia juga menceritakan anak-anaknya, 7 orang kalo gak salah, agak lupa juga soalnya. Pas beliau tanya saudaraku berapa, dengan malu-malu, aku bilang cuma satu. Koq dikit amat ya. Ya, sebenarnya sich kami tiga bersaudara, Cuma pas ibu mengandung adikku yang pertama, beliau keguguran. Jadilah kami sepasang, aku adalah anak yang paling cantik, adikku anak yang paling ganteng.

Ibu itu juga menceritakan bahwa kali sebenarnya tujuannya adalah Surabaya. Karena tiket habis, jadilah ntar transit di Solo atau Jogja. Beliau ntar mau melanjutkan perjalanan naik kereta. Wuih, perjalanan yang amat panjang. Ternyata tujuan beliau ke Surabaya disebabkan oleh kematian ayahanda beliau. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Hanya kepada Allah lah tempat kembali. Jadi inget pelajaran budnus tentang filosofi tumpeng,. Entah berapa kali aja aku ditanya pertanyaan yang sama. Cabe yang melengkung menandakan setelah kematian itu ada arahnya, dan telur atau bawang yang ada di pucak tumpeng menandakan manusia itu berasal dari telur. Ya, memang kita semua berasal dari sel telur yang dibuahi.

Oke, kembali ke cerita awal. Ternyata si ibu sebenarnya sudah mendapat firasat harus ke Surabaya, tapi beliau tunda terus, karena saat ini beliau sedang menempuh S2. Apalagi pekerjaan sebagai seorang ibu dan guru juga menyita banyak waktu. Ternyata emang saya mesti ke Surabaya ya Dhek, kata ibu itu. Ya, diambil hikmahnya aja Bu. Beliau juga agak tersedu ketika menceritakan kenangan bersama ayahnya. Aduh, aku jadi teringat kedua orang tuaku. Ya, teringat akan semua jasa mereka yang tak mungkin bisa kubalas. Bahwa kebersamaan dengan mereka tak akan bisa digantikan oleh apa pun. Bahwa tiap saat mereka berdoa untukku, merestui jalan yang kutempuh. Meski aku dulu sempat kesal. Ya, waktu masih SD kelas 1 dan 2, aku pernah kesal, tapi kupendam. Kenapa sich ibuku tak seperti ibu teman-temanku. Mereka menunggui teman-temanku ketika TK. Tapi aku sendiri. Ketika pulang sekolah pas SD, ibu juga ada menunggu di rumah, tapi aku harus menunggu jam 12 untuk bertemu ibu. Sampai-sampai baju ganti pun disediakan di kursi teras, setelah itu aku main ke tempat nenek. Betapa tidak bersyukurnya aku waktu itu. Ya, jiwa anak kecil yang masih polos. Kini, betapa bersyukurnya aku, ibuku walaupun wanita karier, tapi hanya 5 jam lah beliau di luar. Paling gak selepas zuhur, ibu sudah pulang. Begitu juga dengan ayah, jadinya kalau aku minta jemput, ato ada apa-apa dulu pas SMP dan SMA, ayah selalu ada. Nantinya, bisakah aku seperti ibu yang selalu bisa menyediakan waktunya untukku. Bisakah nanti aku menyediakan waktu untuk anak-anakku. I hope so.
Kembali ke cerita tadi, ibu itu juga membangunkanku ketika bus berhenti. Entah di daerah mana, tapi aku enggan beranjak dari tempatku, udah pewe soalnya. Kulanjutkan lagi menuju buaian alam mimpi. Tengah malam entah jam berapa ketika aku terbangun, anak ibu itu bertanya apakan air yang sekarang dia bawa milikku. Bukan dhek, punya Mbak ada di tas koq. Subhanallah, anak usia 10 tahun kutaksir itu begitu jujurnya. Bahkan dia sangat menjaga makanan dan minuman yang masuk perutnya.

Ketika jam menunjukkan pukul 07.00, sampailah bus di Jogja, tepatnya di depan Stasiun Tugu. Ibu itu tergesa-gesa ingin turun. Kuberi tahu bahwa aka nada kereta jam setengah 8 yang menuju Surabaya. Ibu itu akhirnya turun, jadilah tempat dudukku longgar sekarang. Bus melanjutkan perjalanan. Koq asing ya, ini di jogja, tapi bukan seperti tempat biasa kulewati. Dan benar saja, ternyata bus lewat jalur ringroad utara. Pantes aja, yang ku tahu kan ringroad selatan ma timur.
Jam setangah sepuluh bus masuk terminal Tirtonadi. Kata awak bus sich bisa turun di Kentingan. Oke lah, mending turun di Kentingan aja. Ternyata pas keluar dari bus, tinggal 2 penumpang yang tidak turun di Tirtonadi. Kami pun ngobrol dengan pak sopir. Sopirnya bingung ketika menanyaiku, kuliah di Jakarta, tadi dari Bandung, terus turun dekat UNS, sekarang mau naik bus lagi ke Matesih. Hohoho, setelah kujelaskan bahwa kali ini liburan, akhirnya main ke Bandung, sekarang turun dekat UNS, soalnya banyak temen yang kos di belakang UNS, tapi mau pulang ke Matesih, bapak sopir ngerti juga. Aku diturunkan di Pedaringan karena memang di situlah tempat pemberhentian terakhir. Pak sopirnya malah takut kalo aku berpikir yang enggak2, koq diturunkan di tempat seperti itu. Tenang Pak, saya udah berapa tahun aja ya, sejak SMA lah kenal daerah ini. Hehehe, salut juga buat bapak sopir itu, dia menjaga dirinya dari prasangka orang.

Sekarang sampai di Pedaringan, nyebrang sekali, nunggu lah bus yang akan membawaku ke terminal Matesih. Aih2, koq lama. 15 menit menunggu, aku udah gak sabar. Ya iyalah, bepergian dalam keadaan belum madi dan sarapan adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Mau ke kos temen, enggak ah. Takutnya mereka lagi pada pulkam, kan hari libur. Akhirnya ada bus jurusan Tawangmangu. Ya udahlah, naik itu aja. Begitu sampai di Karangpandan, kulihat sesosok pria tangguh telah menantiku dengan sabarnya. Ya ayah telah datang menjemput. Huwa, lega rasanya. Kucium tangannya dan kami menuju rumah tercinta. Gak ada sepuluh menit, sampailah aku di surga duniaku. Airnya masih segar dan bening saja. Tapi tetep, ada yang berubah tiap kali aku pulang. Apa sajakah yang berubah, nantikan kelanjutannya.

No comments:

Post a Comment