Pernikahanku baru berjalan dua bulan ketika testpack itu menunjukkan dua garis
merah. Tentu saja aku girang bukan main. Meski awalnya aku ragu karena yang
keluar adalah garis samar. Temankulah yang berhasil meyakinkanku bahwa aku
sedang berbadan dua.
Langsung saja aku kirimkan foto testpack itu ke suamiku yang berada di seberang pulau. Tanggapannya
dingin saja karena memang dia juga tidak memahami gambar apa yang aku kirim.
Ketika aku bilang artinya aku hamil, dia pun masih dingin seolah tak percaya.
Begitu cepatkah kami diberi amanah merawat dan membesarkan seorang anak.
Ketika aku pulang pada akhir bulan, barulah dia dengan
bahagianya mengantarku ke dokter kandungan. Wajahnya berseri penuh syukur
ketika dokter memberi ucapan selamat. Aku dinyatakan positif hamil, dan waktu
itu kandunganku diperkirakan berusia 8 minggu.
Meski terpisah pulau dengan suami, secara umum aku menjalani
kehamilanku dengan bahagia. Ya, walaupun ada satu dua kabar tidak enak
menghampiri, tapi suami selalu ada meski tak berada di sampingku. Walaupun
kadang terbersit pengandaian jika suami ada di sampingku sepanjang kehamilanku,
tentu semuanya akan terasa lebih ringan. Tapi, ya sudahlah, itung-itung melatih
fisik dan mental anakku kelak, bahwa di dalam kandungan pun dia sudah kuat,
apalagi ketika nanti dia melihat dunia.
Trimester pertama adalah trimester terberat bagiku. Tubuh
terasa begitu mudah lelah, tidak kuat berdiri terlalu lama, hingga mual-mual
benar-benar menguras energi. Untungnya rekan-rekan kerja begitu baik sehingga
aku tak dibebani pekerjaan yang terlalu berat. Kehidupan sehari-hari pun
berubah. Begitu selesai sholat maghrib, aku langsung tersungkur di atas kasur.
Hingga sholat isya pun sering terlambat. Kadang ketika bangun pukul sepuluh
malam, kadang tengah malam, tetapi untungnya tak pernah terlewat walaupun
bangun hanya untuk sholat isya lalu tertidur lagi. Pun juga sholat subuh. Hanya
bangun untuk sholat dan tidur lagi karena tubuh masih terasa berat. Tidur dua belas jam sehari sudah menjadi
rutinitas di trimester pertama. Untungnya hal-hal berat tersebut berkurang di
trimester kedua.
Benar kata orang, trimester kedua adalah saat yang
menyenangkan untuk ibu hamil. Ukuran perut yang belum terlalu besar dan tubuh
yang sudah terasa lebih nyaman membuat aktivitas lebih menyenangkan. Tidur yang
semula dua belas jam sehari, berangsur-angsur mulai menurun. Paling tidak aku
bisa bertahan hingga sholat isya dulu baru membenamkan diri di kasur. Pekerjaan
rumahan yang biasanya dilakukan ketika sebelum hamil, seperti mencuci baju
otomatis ku stop. Laundry menjadi pilihan, meski baju-baju dalaman masih bisa kucuci
sendiri. Aku juga sudah bisa berjalan-jalan meski membatasi diri tidak boleh
sampai malam karena ada makhluk mungil dalam perut yang harus kujaga. Aku
sangat bahagia ketika pulang, orang rumah begitu memanjakanku, terutama
suamiku. Padahal sebelum hamil pun dia sudah sangat menyayangiku, apalagi
ketika aku mengandung anaknya. Bertambah sayanglah dia padaku.
Trimester ketiga juga menjadi masa yang menyenangkan bagiku.
Ketika usia kandunganku 32 minggu, aku mendapatkan cutiku. Cuti tahunan plus
cuti bersama ditambah cuti melahirkan membuatku berada di tengah keluarga untuk
waktu yang lama. Aku benar-benar menikmati masa-masa kebersamaan dengan
suamiku. Kapan lagi bisa selama ini berdua dengannya untuk waktu selama ini.
Maka aku sangat senang ketika dia tidak ada jadwal ke kampus. Otomatis seharian
dia milikku. Walaupun kadang aku kasian juga ketika dia pagi berangkat dan sore
pulang dalam keadaan capek. Tapi itu dilakukannya dengan ikhlas demi menjaga
dan bersamaku. Terima kasih, sayang.
Walaupun anak dalam kandunganku menolak keluar pada hari
perkiraannya dan ingin lebih lama berada di dalam perutku, kami sangat
menikmati kebersamaan kami. Mungkin anakku tahu, ayah dan ibunya jarang bisa
bersama untuk waktu selama ini. Dan ketika akhirnya gadis mungil itu pun keluar
melengkapi kebahagiaan kami, pengorbanan dan kasih sayang yang begitu besar
kudapat dari suami dan keluargaku. Mereka rela menungguiku dan anakku secara
bergantian di rumah sakit. Bahkan suamiku rela menemaniku yang tidak bisa tidur
setelah obat biusku hilang pengaruhnya. Meski akhirnya kupaksa dia tidur, dan
aku yang sempat terlelap setengah jam di saat dia memijat kakiku dengan penuh
kasih sayang. Melihatnya terlelap ketika menjagaku membuatku begitu merasa
nyaman dan istimewa. Beruntungnya aku mendapatkan kasih sayangnya yang begitu
besar. Terima kasih sayang, kau membuatku merasakan menjadi wanita seutuhnya.
Menjadi seorang anak, saudara, istri, dan ibu semua lengkap telah kurasakan.
No comments:
Post a Comment