Wednesday, August 31, 2011

angka kembar


Ya, seiring diresmikannya KTP yang baru, kini angka kembar telah bernaung di atas kepalaku. Entah senang atau sedih yang jelas aku sangat bersyukur telah diberi kesempatan oleh Allah menjaga amanah usia ini.
Akan ada begitu banyak sejarah terukir di angka kembar ini. Ya, yudisium, wisuda, penempatan, magang, mungkin juga pengangkatan. Ups, padahal ada yang paling deket, UKS tahap 2. Hahaha. . . Entah mengapa aku tak merasa sedih atau galau atau apa lah bahasanya. Toh saya tak cuma sekali ini merasakan kegagalan tes. Lagipula kelulusan juga sudah di depan mata, jadi ya jalani saja. Jauh lebih menyesakkan ketika dulu ikut tes masuk salah satu perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang sangat diinginkan, saya nyatakan bukan kedokteran lho ya, tetapi harus menelan pil pahit dan pada kenyataannya saya diarahkan untuk menempuh jalan lain yang ternyata luar biasa terbaik untuk saya. Pun juga dengan UKS 2 ini, inilah peringatan dan jalan terbaik atas apa yang telah saya lakukan. Pesan moralnya adalah, bersungguh-sungguhlah kamu dalam melakukan apa yang seharusnya kamu lakukan. Ya, usaha dan doa saya memang kurang. Jadi untuk ke depan, ketika melakukan sesuatu harus fokus Erna.
Yang jelas, ketika tunjangan untuk anak PNS resmi diberhentikan ketika sang anak berusia 21, yang artinya pemerintah berharap usia 21 adalah usia sang anak lepas dari orangtua, maaf ayah, anakmu terlambat. Dan mungkin saja sampai akhir tahun pun anakmu ini masih akan bergantung padamu.

Friday, August 26, 2011

pemimpin ideal

Pemimpin Ideal
Pemimpin yang cocok untuk Indonesia saat ini? Pertanyaan itu terus menggelayuti pikiranku sejak selesai kuliah KSPK pekan ini. Ya, aku yang sama sekali tidak tertarik pada dunia politik mau tak mau harus berpikir tentang pemimpin ideal yang sesuai untuk negeriku. Ideal? Saya rasa karena tak ada manusia yang sempurna, di zaman ini tak ada pemimpin ideal. Ya, harapan saya sich paling nggak calon pemimpin yang nantinya akan tampil dan bersaing dalam kancah perpolitikan negeri ini mendekati ideal lah, yang tentunya akan membawa perubahan yang lebih baik untuk negeri ini. Rakyat memang sudah bosan akan janji manis tanpa wujud nyata.
Mengingat perkembangan dunia global yang begitu pesat, saya rasa pemimpin yang mendekati ideal harus paham bagaimana dampak derasnya arus globalisasi. Perubahan yang begitu cepat membutuhkan pemimpin yang fleksibel dan cerdas, tapi tentu saja dia harus teguh memelihara kehormatan bangsa. Saya rasa tipe gabungan tipe Influence dan Steadyness paling cocok. Melalui tipe Influence, pemimpin harapan akan mampu melakukan negosiasi yang menguntungkan. Melalui tipe Steadyness, pemimpin akan mampu mengambil langkah yang hati-hati. Melalui gabungan kedua tipe itu, pemimpin akan mampu mengambil hati rakyat dan pemuka dunia dengan tetap memperhatikan dampak yang akan terjadi pada negeri ini tentunya.
Rakyat yang sudah terdidik akan demokrasi lebih membutuhkan pemimpin yang mampu mengambil hati rakyat tanpa menggunakan kekerasan. Dengan cara seperti itu, rakyat akan merasa dimanusiakan sehingga dalam pengambilan suatu kebijakan, tak akan ada perlawanan. Pemimpin sehebat apapun, tanpa dukungan rakyat, dia bukanlah apa-apa. Oleh karena itu tipe Influence bisa menarik kepercayaan rakyat, sehingga terciptalah hubungan yang baik antara pemerintah dengan rakyat. Jika hal itu sudah terjadi, maka rakyat dan pemerintah bisa bekerja sama demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

sekelumit cerita wisudaku

Hari ini benar-benar menakjubkan. Ketika orang lain masih terbuai dengan mimpinya, ketika orang lain masih bantal guling dan merebahkan tubuh di atas kasur empuknya, kami, 400-an mahasiswa akuntansi sudah berjibaku dengan rumput di Lapangan A. bukan untuk memangkas rumput, bukan pula apel dinihari, apalagi jurit malam. Kami berkumpul di Lapangan A sejak tengah malam hanya demi selembar tiket yang akan dipersembahkan khusus untuk Ayah dan Bunda yang tengah menanti kepastian mengikuti prosesi wisuda anaknya 12 Oktober kelak. Ya, pukul 00.18 handphone bergetar cukup lama, pertanda ada telepon yang masuk. Awalnya sempat tak percaya bahwa ada kabar Lapangan A sudah ramai orang demi antrian jatah 2 pendamping. Namun, mendengar backsound yang begitu ramai, akhirnya kuyakinkan diriku untuk percaya, meski masih takjub. Segera aku menuju kamar mandi dan berganti seragam kuliah. Untuk lebih memastikan, ku sms beberapa teman dan mereka mengatakan hal yang sama. Dan ternyata inbox penuh dengan kabar untuk menuju Lapangan A segera. Ya, kumantapkan langkah dengan berlari. Pun ketika gerbang Kalimongso di depan mata yang masih terkunci dengan manisnya. Akhirnya kuputuskan memanjat pagar mungil berkawat duri di bagian atas tersebut. Untung kawat durinya tak menyeluruh, masih ada beberapa cm di pinggir yang memungkinkan kami, mahasiswi yang notabene harus memakai rok ke kampus, memanjat gerbang tersebut. Penuh perjuangan juga, gerbang Kalmong terlewati dan aku pun segera berlari menuju Lapangan A.

Sunday, August 7, 2011

Masih Tentang Wisuda

Mengapa judulnya masih? Karena sebenarnya saya telah menulis uneg-uneg tentang kompre dan wisuda, tapi karena ada beberapa kata yang tidak pantas untuk dipublish, maka saya memutuskan biar tulisan itu tersimpan indah di laptop saya. Takutnya sih, nanti ada beberapa pihak yang tidak terima kalo saya publish.

Mendengar suara kedua orang nun jauh di lintas provinsi sangat menenangkan hatiku. Ya, setelah beberapa kali menunda menelepon karena merasa belum menemukan waktu yang pas, akhirnya mereka lah yang menghubungiku. Memang ya, kasih sayang dan rasa rindu orang tua jauh melebihi kasih sayang dan rindu anaknya. Meskipun hanya bertanya kabar, apa yang sedang dilakukan, dan masih punya uang kah, suara ayah dan ibu sangat meneduhkan. Ya, aku bersyukur memiliki keluarga yang hebat. Ibu dengan kesabaran, perjuangan dan kasih sayangnya. Ayah dengan perjuangan, kesetiaan dan dedikasinya. Adek dengan kemanjaan dan kelucuannya. Setelah beberapa kali becakap-cakap akhirnya kuberanikan juga berkata tentang polemik wisuda yang terjadi. Bahwa untuk mendapatkan dua pendamping harus rebutan. Ah, tak tega sebenarnya aku mengatakannya. Namun, harus bagaimana lagi. Jauh di lubuk hatiku aku tak bisa memilih. Hal ini ibarat aku harus memilih salah satu diantara mereka. Tentu saja aku tak akan pernah bisa. Dan ternyata kebijakan itu pun bersuara. Ya, ayah dengan bijaknya mengatakan hal itu tak menjadi masalah. Toh ayah bisa menunggu di luar. Miris sekali mendengarnya. Lelaki yang begitu setia menunggu ketika menjemputku pulang dari perantauan rela menunggu lagi di saat aku merayakan kelulusan di dalam gedung. Tidak, aku sungguh tak rela walaupun kutau ayah orang yang begitu supel. Jadi tak masalah jika beliau sendiri. Dengan cepatnya pasti beliau akan mendapat kawan bicara. Tapi tidak, aku tak terima. Aku yang melihat perjuangannya selama 22 tahun kehidupanku harus melihatnya menunggu sang puteri tercintanya di luar. Tidak ayah. Aku akan berjuang mendapatkan dua tiket itu. Doakan anakmu ayah, ibu.