Saturday, June 18, 2011

Penempatan

“Jangan pernah takut ditempatkan di daerah karena di daerah kita bisa membentuk karakter diri ”. Begitulah inti pertemuan dengan dosen pembimbing semalam. Ya, beliau telah malang melintang ke daerah di Jawa Barat dan Kalimantan selama masing-masing lima tahun. Sebenarnya dalam hati, aku insyaallah memang siap jika nanti ditempatkan di mana saja. Mendengar kisah sang dosen semalam, hatiku menjadi semakin mantap untuk tak ingin penempatan di ibukota. Ya, penempatan adalah satu topik yang umum di bahas mahasiswa tingkat akhir seperti aku. Ya, nggak kalah sama topic pernikahan lah.
ya, tak terasa memang kami, mahasiswa tingkat 3 STAN hanya tinggal menempuh kuliah kira-kira satu setengah bulan lagi. KTTA sebagai salah satu syarat kelulusan pun sudah memasuki tahap-tahap akhir. Ya, sekarang yang dipikirkan adalah UAS terakhir, kompre, yudisium, wisuda dan tentu saja hati berdebar menunggu pengumuman penempatan.bulan Oktober nanti, peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah hidup kami akan terjadi.
Wisuda. Siapa orang tua yang tak bangga anaknya telah diwisuda. Kami pun berharap orang tua kami akan tersenyum melihat kami memakai toga dan mendampingi kami dalam rangkaian acara menyambut kelulusan. Yah, kami menyebutnya dengan “sekolah’ memang telah selesai dijalani. Namun, ini bukan berarti akhir pembelajaran. Justru setelah kalian diwisuda, memasuki kehidupan bermasyarakatlah ujian kalian yang sebenarnya. Kata-kata itu yang sampai sekarang terngiang di kepalaku. Memang benar adanya. Mendengar pengalaman senior yang telah bekerja, cerita orang tua dan tetangga, kehidupan kita benar-benar diuji justru bukan saat kita berada di bangku formal pendidikan, melainkan saat kita berhadapan dengan masyarakat. Di sinilah ketrampilan hidup tentang bagaimana kita berbaur, apa tujuan hidup kita, bagaimana kita beradaptasi benar-benar diuji. Memang bukan nilai di atas kertas yang akan kita dapat, melainkan nilai di hati setiap orang yang kita temui dalam kehidupan kita.
Setelah wisuda dijalani, kami harus melalui serangkaian tahapan sebelum masuk ke dunia kerja. Pengumuman penempatan, pemberkasan, dll masih harus kami jalani. Penempatan. Bagi sebagian orang mungkin menjadi suatu momok. Bagaimana kalau nanti gak di Jakarta. Bagaimana bila nanti “dilempar” ke daerah. Sebenarnya saya kurang setuju dnegan kata “dilempar” atau “dibuang”. Bukankah dnegan di daerah justru kita dipercaya dapat berkontribusi membangun daerah tersebut. Bukankah mengabdi pada negara tak harus di ibukota atau daerah sendiri. Indonesia luas bung. Di mana pun kita berada, di mana pun kelak kita ditempatkan, selama masih di bumi nusantara, kita tak perlu takut. Orang-orang di daerah kelak kita ditempatkan, mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air. Mungkin kita nanti menemukan lingkungan yang kurang sreg di hati, tapi bukankah justru di situlah tantangan kita. Sanggupkah kita menghadapi zona tak nyaman tersebut? Bukankah di daerah kita bisa berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Rasa persaudaraan pun akan semakin erat. Kita juga bisa menyumbangkan apa yang selama ini kita pelajari. Kita bisa menyumbangkan ide-ide brilian kita untuk turut membangun daerah.
Ya, cerita-cerita penuh hikmah dari sang dosen semalam semakin membuatku sadar. Fakta telah berbicara. Bagaimana peraturan-peraturan yang dibuat oleh orang yang tak pernah terjun langsung ke masyarakat menimbulkan begitu banyak interpretasi di kalangan pelaksana. Bagaimana peraturan-peraturan yang dibuat oleh orang yang selalu berada dalam zona nyaman, dalam praktiknya justru bukan menjadi solusi. Memang kita belum mengalaminya, tapi seandainya kita berada dalam zona nyaman tersebut (dalam artian penempatan langsung di kantor pusat) apakah kita akan berpikir tentang teman-teman kita di Mimika, Bau-Bau, Tahuna dan tempat-tempat yang mungkin tak tertulis di peta. Tak mungkin. Kita akan sibuk memikirkan “penyelamatan diri”. Bagaimana caranya agar saya tetap aman. Bagaimana saya agar tak perlu menelusuri pelosok daerah. Keegoisan kita yang akan berbicara. Kita tidak pernah merasakan bagaimana sulitnya berhadapan dengan masyarakat secara langsung. Hidup hanya untuk membicarakan pekerjaan kantor dan tua di jalan. Tak ada waktu untuk bersosialisasi jika kalian penempatan di kantor pusat. Jika hati tidak kuat, kalian akan lupa segalanya dan terbuai gemerlapnya kehidupan ibukota. Rapat di hotel, malamnya ke bar, siang rapat lagi, malam keluyuran lagi. Begitu menggodanya kehidupan dunia. Lain halnya jika kita penempatan di daerah. Kita tak perlu berhadapan dengan macet. Sepulang kerja bisa bersosialisasi, waktu untuk keluarga jelas ada. Kalaupun kalian penempatan di Jakarta, akan lebih baik jika berada dalam lingkungan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Dari interaksi itu kita bisa belajar banyak hal dibandingkan hanya bertemu rekan sekantor, membicarakan hal kantor, ketemu orang ditanyain masalah kantor, kantor dan kantor. Betapa sayang waktu dan energi kita jika hanya untuk mengurusi masalah kantor. Jadi waktu yang tepat untuk membentuk karakter kita adalah ketika kita menjadi pelaksana, yang terjun langsung menghadapi masyarakat. Di sanalah tujuan hidup kita akan terbentuk.
Jika tujuan hidup kita adalah kekayaan, maka kekayaan dunia tak akan ada habisnya. Ibarat minum air laut, semakin diminum maka kita akan semakin haus. Begitulah inti pelajaran KSPK bebarapa hari yang lalu. Dan ternyata hal yang diajarkan dosen KSPK dan dosbing KTTA sama. Jadikanlah tujuan hidup kita “peran” dalam masyarakat. Seberapa bergunanyakah kamu hidup dalam masyarakat. Hidup kita Cuma sekali, maka jadikanlah itu berarti. Belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja..
Jadi intinya, bersiaplah di mana saja kita akan ditempatkan. Instansi dan daerah penempatan bukanlah masalah jika tujuan kita adalah untuk mengabdi kepada negara. Seperti kata ibu saya ”Asalkan bandara masih buka tiap hari, ibu tidak akan mempermasalahkan di mana pun nanti kamu akan tinggal”. Selama masih berada di bumi Allah, insyaallah kita akan selalu berada dalam naungan-Nya.